Wednesday, June 6, 2007

Tauhid ??? Masyarakat Madani ???

MEMBUMIKAN NILAI-NILAI KETAUHIDAN
DALAM BERBAGAI ASPEK KEHIDUPAN MENUJU MASYARAKAT MADANI


Pengantar
” Sesungguhnya yang termasuk jihad besar ialah berkata benar kepada penguasa yang zalim ”. Perkataan Rasulullah SAW tersebut patut untuk kita dalami bersama. Jika ada yang bertanya, buat apa mendalaminya ?? Maka jawabnya, sekarang mari kita lihat kondisi negara kita saat ini. Tak perlu jauh-jauh untuk membicarakan kedaulatan bahkan hubungan luar negeri Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia, cukup kita amati sistem sosial yang ada di negeri tercinta ini.
Apakah jalannya sistem sosial dalam negeri ini sudah sesuai dengan impian semua rakyat ? Tidakkah kita melihat ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan sosial ? Sudah terciptakah keadilan sosial seperti yang disebutkan dalam landasan idiil negara kita ? Apakah si penanggung jawab atas semua ini sudah menjalankan dengan baik amanah yang diberikan padanya ? Saya yakin, kita semua sepakat untuk berseru TIDAK !!!
Jika TIDAK, apa yang harus kita lakukan sebagai orang berilmu yang mengetahui adanya kesalahan sistem sosial di negara kita ini. Haruskah kita berdiam diri ??? Tak adakah sumbangan pemikiran sebagai solusi atas permasalah ini ??? Tentu saja kita ingin melakukan jihad besar. Bagaimana caranya ??? Selanjutnya akan dibahas tentang pendekatan nilai-nilai ketauhidan dalam kehidupan sosial .
Nah..... Mari gelisah bersama sebagai wujud adanya perhatian kita terhadap masalah ini !!!! Dengan gelisahlah maka spirit untuk melangkah akan terwujud.

Sekilas Kondisi Bangsa Saat Ini
Di bidang ekonomi, misalnya, sejak krisis ekonomi tahun 1998 yang puncaknya ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto, lalu diikuti dengan naiknya Habibie sebagai presiden, yang kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid, lantas Megawati, hingga SBY saat ini, praktis kehidupan masyarakat di negeri ini tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Bahkan, boleh dikatakan, kondisinya semakin memburuk. Jika BBM dijadikan patokan paling sederhana, kita melihat Pemerintah, dari berbagai rezim tersebut, ternyata tidak berdaya walau hanya sekadar membuat harga BBM bagi rakyat menjadi murah. Kita melihat harga BBM bukan semakin murah, tetapi semakin mahal dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1998, pada era Habibie, 1 Oktober 1998 mulai dijalankan kesepakatan Indonesia dengan IMF tentang penghapusan subsidi berbagai barang kebutuhan pokok, di antaranya BBM, yang dilakukan secara berkala tanpa batas waktu. Pada era Abdurrahman Wahid (2000) BBM naik: bensin naik 15%, minyak tanah naik 25%. Masih pada era Wahid (2001), BBM naik lagi: bensin naik 26%, minyak tanah naik 14,3%. Kemudian pada era Megawati (2002), BBM naik lagi: bensin naik 7%, minyak tanah naik 50%. Lima bulan kemudian, bensin naik lagi sebesar 9,4%. Masih pada era Megawati (2003), BBM naik lagi: bensin naik 16,7%, minyak tanah naik 3,4%. Terakhir, pada masa SBY, BBM naik lagi: bensin naik 32,6%. Beberapa bulan kemudian, BBM naik lagi dengan prosentase yang lebih besar: bensin naik 87,5%, minyak tanah 185,7%. (Kompas, 2/5/2006). Meskipun ditemukan cadangan minyak di Blok Cepu (yang diyakini merupakan cadangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia), yang berarti cadangan minyak melimpah, harga BBM tampaknya tidak akan pernah turun.Sebab, Blok Cepu sendiri pengelolaannya sudah diserahkan ke perusahaan asing, yakni ExxonMobile. Pemerintah sendiri, dalam hal ini Pertamina, hanya kebagian 45% keuntungan dari penambangan minyak di Blok Cepu itu.
BBM naik terus-menerus mungkin tidak terlalu menjadi masalah jika diikuti oleh daya beli masyarakat yang juga terus-menerus meningkat. Masalahnya, di tengah kenaikan harga BBM berkali-kali, daya beli masyarakat justru semakin menurun. Sudah banyak fakta, banyak masyarakat yang sekadar untuk membeli minyak tanah pun sudah tak mampu lagi. Jumlah orang miskin makin bertambah. Kasus gizi buruk dan kelaparan makin meningkat. Kenaikan harga BBM, yang katanya tidak memberatkan rakyat,ternyata 'berhasil' menambah jumlah orang miskin. Dengan kenaikan harga BBM bulan Maret 2005 saja, jumlah orang miskin telah bertambah sekitar 15% menjadi 65 juta orang. Angka pengangguran pun makin melambung; hingga saat ini mencapai lebih dari 40 juta orang.
Itu baru dalam bidang ekonomi. Belum lagi jika kita
membincangkan masalah keterpurukan Indonesia di bidang pendidikan, hukum, pelayanan sosial, kesehatan, moral, tingkat keamanan, dll. Karena itu, meski setiap tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan, berbicara tentang kebangkitan tampaknya masih menjadi sesuatu yang 'mewah' bagi kita. "Indonesia Bangkit" tampaknya masih sebatas angan-angan dan mimpi. Sebab, jangankan berbicara tentang kebangkitan, sebagaimana bangsa-bangsa Barat saat ini yang mengalami berbagai kemajuan dan kemakmuran, untuk sekadar hidup layak saja kebanyakan masyarakat kita masih banyak yang kesulitan.
Jika memang Indonesia saat ini sudah dianggap final dan ideal: mengapa kehidupan rakyat Indonesia masih terpuruk; mengapa konflik (antaragama,
antarsuku, antar para pendukung calon kepala daerah dalam Pilkada, antara buruh dan majikan, dll) di tengah-tengah masyarakat masih sering terjadi; mengapa bumi Indonesia yang kaya-raya rakyatnya bergelimang dalam kemiskinan; mengapa masih banyak rakyat yang sulit mengecap pendidikan hatta sekadar pendidikan dasar; mengapa korupsi masih merajalela; mengapa kerusakan moral makin tak terbendung;
mengapa berbagai kasus perzinaan, pelacuran, dan pemerkosaan makin menjamur; mengapa tingkat kejahatan makin meningkat....?
Jika kita merenungkan semua itu secara mendalam, jelas akar permasalahannya adalah karena asas kehidupan yang diterapkan saat ini adalah sekularisme-sebuah keyakinan dasar yang menyingkirkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Dalam hal ini, Pancasila sendiri hanya sekadar falsafah hidup, yang kini cenderung menjadi simbol semata. Faktanya, apa yang disebut dengan "Ekonomi Pancasila" atau "Demokrasi Pancasila", misalnya, yang diharapkan bisa mengatur kehidupan ekonomi dan politik masyarakat, sesungguhnya tidak pernah ada, baik secara teori apalagi praktik. Kenyataannya, sistem aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat adalah aturan-aturan yang bersumber dari sistem Kapitalisme-sekular yang bercirikan liberalisme, individualisme, dan pragmatisme, serta jauh dari nilai-nilai Islam dan aturan-aturan Allah SWT.

Konsepsi Tauhid dan Nilai-Nilai yang Dikandungnya
Secara teologis, prinsip tauhid adalah tidak boleh membeda-bedakan,menyubordinasi, membeda-bedakan manusia dengan latar belakang sosial dan budaya apa pun. Tauhid sering dimaknai hanya sebagai hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi sebetulnya ada hubungan horizontal antarmanusia. Epistemologinya, Tuhan seakan-akan tempat menjustifikasi semua masalah atas nama Tuhan. Dasar pemikirannya? Al Quran. Justru monoteisme Islam sangat membebaskan, tidak boleh ada pandangan yang menyatakan dirinya lebih besar dan lebih benar dari yang lain. Yang paling benar hanya Tuhan. Manusia yang memiliki keistimewaan, kelebihan, terhormat, yang dekat dengan Tuhan adalah siapa saja yang memiliki komitmen pada penegakan kemanusiaan, yang melihat manusia sebagai makhluk Tuhan yang harus dihormati sebab Tuhan juga menghormati manusia. Refleksi sosialnya harus begitu. Itu konsekuensi logis prinsip tauhid pada tataran sosial kemanusiaan.
Semua karakteristik dan kualitas yang mutlak harus dimiliki oleh sebuah konsepsi yang baik tentang alam semesta, dimiliki oleh konsepsi tauhid. Konsepsi tauhid merupakan satu-satunya konsepsi yang memiliki semua karakteristik dan kualitas ini. Konsepsi tauhid merupakan kesadaran akan fakta bahwa alam semesta ada berkat suatu kehendak arif, dan bahwa sistem alam semesta ditegakkan di atas rahmat dan kemurahan had dan segala yang baik. Tujuannya adalah membawa segala yang ada menuju kesempurnaannya sendiri. Konsepsi tauhid artinya adalah bahwa alam semesta ini "sumbunya satu" dan "orbitnya satu". Artinya adalah bahwa alam semesta ini "dari Allah" dan "akan kembali kepada Allah".
Segala wujud di dunia ini harmonis, dan evolusinya menuju ke pusat yang sama. Segala yang diciptakan tidak ada yang sia-sia, dan bukan tanpa tujuan. Dunia ini dikelola dengan serangkaian sistem yang pasti yang dikenal sebagai "hukum (sunnah) Allah." Di antara makhluk yang ada, manusia memiliki martabat yang khusus, tugas khusus, dan misi khusus. Manusia bertanggung jawab untuk memajukan dan menyempurnakan dirinya, dan juga bertanggung jawab untuk memperbarui masyarakatnya. Dunia ini adalah sekolah. Allah memberikan balasan kepada siapa pun berdasarkan niat dan upaya konkretnya.
Konsepsi tauhid tentang dunia ini mendapat dukungan dari logika, ilmu pengetahuan dan argumen yang kuat. Setiap partikel di alam semesta ini merupakan tanda yang menunjukkan eksistensi Allah Maha Arif lagi Maha Mengetahui, dan setiap lembar daun pohon merupakan kitab yang berisi pengetahuan spiritual.
Konsepsi tauhid mengenai alam semesta memberikan arti, semangat dan tujuan kepada kehidupan. Konsepsi ini menempatkan manusia di jalan menuju kesempurnaan yang selalu ditujunya tanpa pernah berhenti pada tahap apa pun. Konsepsi tauhid ini memiliki daya tarik khusus. Konsepsi ini memberikan vitalitas dan kekuatan kepada manusia, menawarkan tujuan yang suci lagi tinggi, dan melahirkan orang-orang yang peduli. Konsepsi ini merupakan satu-satunya konsepsi tentang alam semesta yang membuat tanggung jawab manusia terhadap sesamanya menjadi memiliki makna. Juga merupakan satu-satunya konsepsi yang menyelamatkan manusia dari terjungkal ke jurang kebodohan.

Membumikan Nilai-Nilai Ketauhidan dalam Berbagai Aspek Kehidupan
Menuju Masyarakat Madani mungkin merupakan impian setiap rakyat yang akhirnya mewakili impian suatu negara. Ada 3 komponen dalam masyarakat madani yaitu Pertama, agama sebagai sumber, Kedua, peradaban sebagai prosesnya, dan Ketiga, masyarakat kota adalah hasilnya.Sehingga suatu masyarakat madani akan tercipta jika ada relasi antara agama, peradaban dan perkotaan.
MM hanya dapat menjadi mantap apabila kita meneruskan deregulasi, mengambil tindakan untuk memantapkan keterbukaan dan berhasil mewujudkan negara hukum. Sekarang kita dapat melihatnya dengan lebih prinsipil. MM karena merupakan kehidupan sosial yang berdasarkan dinamika sendiri secara hakiki harus bebas secara internal. Artinya, dinamika-dinamika yang ada dalam masyarakat tidak boleh ditindas, diregulasi, dipotong berdasarkan apriori-apriori ideologis dsb.
Lebih terinci, masyarakat itu di satu fihak harus menjamin kebebasan segenap warga masyarakat, individual dan kolektif, untuk mewujudkan kehidupan menurut cita-cita mereka sendiri, asal tidak mengintervensi saudara, tetangga, komunitas, kelompok dan golongan lain. Hak-hak asasi manusia perlu dijamin dan menjadi ukuran toleransi kehidupan bersama. Di lain fihak kehidupan bersama harus didukung oleh suatu konsensus dasar, konsensus tentang nilai-nilai yang mendasari kehiudpan bersama sebagai bangsa (contoh: Pancasila).
Hal itu berarti dua. Pertama, MM tidak mengatur nilai-nilai, cita-cita, keyakinan-keyakinan para warganya. Adanya MM berarti bahwa ia tidak memerlukan negara untuk menjadi sandaran moralitasnya. Ia memilikinya sendiri - dan pada umumnya secara pluralistik karena MM terdiri atas komunitas-komunitas dengan tradisi-tradisi lokal dan sosial sendiri-sendiri, dengan cerite- ceritera kecilnya masing-masing. Keluar hal itu berarti maksimum toleransi. Ke dalam itu berarti; masing-masing kelompok mantap dalam identitasnya. Yang diatur oleh negara - dalam hukum - adalah kepentingan-kepentingan utiliter dan pragmatis bersama, presis apa yang memang menjadi raison d'etre (dasar eksistensi) negara.
Tetapi, kedua, suatu masyarakat hanya dapat meruipakan kesatuan politis apabila memiliki suatu tandon nilai bersama, di antaranya apa yang disebut keyakinan dan keutamaan 'republika" (Ch. Taylor 1989), yaitu keterlibatan pada negara sendiri dan kesediaan untuk seperlunya berkurban demi negara bersama itu. Tetapi perlu diperhatikan: keyakinan kebersamaan dalam MM majemuk justru dapat tinggi apabila (dan hanya apabila) masing-masing warganya merasa utuh dalam identitas dan kebebasan untuk mewujudkan kehidupan menurut cita-cita mereka sendiri.
Barangkali tidak selalu mungkin menghindari adanya hubungan-hubungan budaya yang hegemonikal, tetapi suatu dominasi pandangan moral-budaya tertentu mesti akan merusak negara itu, memperlemah MM secara kontinyu. Karena lalu negaralah yang harus menopang tatanan moral-kultural, jadi MM sudah tidak vitas lagi. Dengan lain kata, apabila MM mau didukung, transfer cita-cita ideologis, moral dan kultural hanya dapat dibenarkan apabila terjadi dalam suasana kebebasan dan berdasarkan daya tarik cita-cita itu sendiri.
Lantas timbul kembali pertanyaan, bagaimana caranya kita menuju ke sana ( baca : masyarakat madani ) ???
Setelah kita mengolah semua keadaan, kesalahan, keburukan di negara kita ini. Sesungguhnya, ada satu hal yang luput dalam masyarakat kita saat ini, yaitu semakin minimnya rasa kemanusiaan, peduli terhdap sesama, tidak ada lagi penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Sedangkan di sisi lain kita sebagai manusia beragama memahami konsepsi tauhid yang tidak hanya mengatur hubungan secara vertikal ( hubungan terhadap Tuhan ) tetapi juga hubungan secara horizontal ( hubungan sesama manusia ). Nilai-nilai tauhidlah yang coba kita bumikan ( baca : terapkan ) dalam kehidupan untuk menuju masyarakat madani.
Ajaran tauhid dalam konsepsi Nabi Mohammad erat kaitannya dengan perubahan sosial dari tatanan yang ekploitatif menuju tatanan yang berkeadilan. Namun, nampaknya kegagapan, serta kekakuan dalam mengkontekstualisakan teks yang membuat agama kehilangan substansinya dari semangat perubahan sosial.
Selama ini, elit keagamaan hanya sibuk dengan persolalan ritual-transendental semata, demi mencapai surganya Tuhan. Nampaknya, tidak ada lagi kesempatan masuk surga bagi kaum masakin, bodoh dan orang terbelakang, sebab kemiskinan yang menderanya membuatnya lalai menjalalankan perintah-Nya. Padahal, Robert N Bellah mengatakan bahwa agama adalah cara untuk memahami dunia, akan tetapi realitas yang terjadi justru elit agama lebih asyik berkencan dengan Tuhan. Sehingga marginalisi, eksploitasi kemanusiaan oleh kelas dominasi tidak lagi dimaknai sebagai pengingkaran dari pesan-pesan agama.
Mestinya, marginalisai dan penindasan dijadikan prioritas bagi elit keagamaan untuk melakukan perubahan dengan semangat iman dalam bentuk amal. Hal ini sesuai dengan anjuran Tuhan untuk selalu berlomba-lomba dalam kebajikan. Keshalehan personal terhadap Tuhan tidak akan mampu membendung arus penindasan dan marginalisasi oleh kelas dominasi. Sejatinya, keshalehan ini diwujudkan dalam interaksi dan sistem sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Jika agama tidak menjadi sumber perubahan, maka agama hanya menjadi sesuatu yang formal tanpa memiliki makna yang signifikan dalam kehidupan manusia, bahkan lebih tragis, secara lambat laun agama akan ditingalkan oleh penganutnya.
Agama lahir bukan diruang hampa, kelahiran agama sebagai respon dari realitas sosial yang menindas. Maka pradoks, ketika orang yang mengaku taat beragama justru mengingkari pesan agama. Secara historis agama hadir untuk memerangi ketidakadilan yang dilakukan oleh kelas penguasa. Seperti halnya agama yang dibawa Musa as, ini tidak lain semata-mata untuk menggugat dan memerangi ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan Fir’aun terhadap rakyatnya.
Begitu juga dengan Islam, kiranya "rahmatal lilalamin" tidak akan berarti ketika tidak mampu memecahkan persoalan kemanusiaan. Inipun menjadi ahistoris dari kelahirannya, karena agama yang dibawa Nabi Mohammad hadir ditengah-tengah realitas sosial yang timpang dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Maka, keterlibatan agama dalam ranah sosial-politik menjadi mutlak adanya khususnya nilai-nilai ketauhidan yang diajarkan di dalamnya.

Penutup
Corak kehidupan di negara kita ini telah melunturkan nilai-nilai tauhid yang diajarkan oleh Islam. Kehidupan yang penu keharmonisan, toleran, menghargai hak-hak asasi manusia, tidak saling menindih sesama saudara, saling menghargai kepentingan tidak lagi mewarnai kehidupan di negara tercinta ini.
Tauhid yang diajarkan oleh Islam yang meliputi hubungan vertikal dan hubungan horizontal sekarng ini mengalami degradasi. Karena apa yang kita liht sekarang ini seolah-olah nilainilai tuhid hanya dititikbratkan pad hubungan vertikal dan mengbaikan hubungan horizontal. Hal ini mungkin beranjak dari ketidakpahaman atau kurang membuminya nilai-nilai ketauhidan utama yang mengatur hubungan horizontal yakni hubungan sesama manusia.
Semua konflik atau permasalahan yang ada di negara kita ini, intinya merupakan akibt dari semakin terkikisnya rasa peduli dan rasa kemanusiaan. Ini yang hilang dari masyarakat kita.
Olehnya itu dengan membumikn nila-nilai ketauhidan secara komprensif di berbagai aspek kehidupan, kiranya dapat membuka jalan bagi masyarakat kita menuju masyarakat madani.
Merasa kasihan tanpa berbuat sesuatu adalah
Suatu kemewahan yang tak berguna
Kalau benar perasaan itu murni,
Orang harus membantunya,
Apakah dengan pikiran, perbuatan, ataukah pertolongan !!!























No comments: