Wednesday, June 6, 2007

SeLaNgKaH dr Titik KriTis...

MEMAKNAI SELANGKAH PERJUANGAN HMI DARI TITIK KRITIS
SEBAGAI MODAL DALAM MEMBERIKAN KONTRIBUSI
DI ERA TRANSISI INDONESIA


Pengantar
Indonesia saat ini tengah berada dalam masa transisi. Hal ini tidak hanya meliputi satu sektor kehidupan saja tetapi mencakup berbagai sektor kehidupan. Sebagai dasar pemikiran bahwa kehidupan itu dinamis, dan istilah perubahan selalu menghiasi perjalanan kehidupan tersebut.
Jika dianalogikan, kehidupan tidak lain sebagai rangkaian berjalan dari beriru-ribu bahkan berjuta-juta titik, dimana hubungan antara satu titik dengan titik yang lain terdapat sekat yang kemudian kita istilahkan sebagai zone peralihan atau transisi.Seperti halnya dengan kondisi kehidupan Indonesia saat ini yang tengah berada di masa transisi pada berbagai sektor kehidupan.
Kini usia reformasi sewindu lebih, namun ”Era transisi tak kunjung berakhir ”. Setelah sembilan tahun reformasi ( 1998-2007) namun tak ada perubahan yang berarti di negara ini. Tentunya terbesik satu tanya dalam hati, ” apa yang salah di negeri ini ? ”
Sedangkan di sisi lain, berbagai bentuk perjuangan dari orang-orang Indonesia khususnya kita sebagai generasi penerus bahkan yang tergabung dalam ORNOP-ORNOP semakin memudar. Kembali hati ini bertanya, ” apa yang salah dari mereka ? ”
Jangan sekedar bertanya, tapi gelisahlah dengan mulai melangkah. Tak ada gunanya jika hanya berjalan di tempat sambil menjadi penonton yang setia di negeri sendiri !

• Sekilas tentang Nasib Bangsa
Di bidang ekonomi, misalnya, sejak krisis ekonomi tahun 1998 yang puncaknya ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto, lalu diikuti dengan naiknya Habibie sebagai presiden, yang kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid, lantas Megawati, hingga SBY saat ini, praktis kehidupan masyarakat di negeri ini tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Bahkan, boleh dikatakan, kondisinya semakin memburuk. Jika BBM dijadikan patokan paling sederhana, kita melihat Pemerintah, dari berbagai rezim tersebut, ternyata tidak berdaya walau hanya sekadar membuat harga BBM bagi rakyat menjadi murah. Kita melihat harga BBM bukan semakin murah, tetapi semakin mahal dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1998, pada era Habibie, 1 Oktober 1998 mulai dijalankan kesepakatan Indonesia dengan IMF tentang penghapusan subsidi berbagai barang kebutuhan pokok, di antaranya BBM, yang dilakukan secara berkala tanpa batas waktu. Pada era Abdurrahman Wahid (2000) BBM naik: bensin naik 15%, minyak tanah naik 25%. Masih pada era Wahid (2001), BBM naik lagi: bensin naik 26%, minyak tanah naik 14,3%. Kemudian pada era Megawati (2002), BBM naik lagi: bensin naik 7%, minyak tanah naik 50%. Lima bulan kemudian, bensin naik lagi sebesar 9,4%. Masih pada era Megawati (2003), BBM naik lagi: bensin naik 16,7%, minyak tanah naik 3,4%. Terakhir, pada masa SBY, BBM naik lagi: bensin naik 32,6%. Beberapa bulan kemudian, BBM naik lagi dengan prosentase yang lebih besar: bensin naik 87,5%, minyak tanah 185,7%. (Kompas, 2/5/2006). Meskipun ditemukan cadangan minyak di Blok Cepu (yang diyakini merupakan cadangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia), yang berarti cadangan minyak melimpah, harga BBM tampaknya tidak akan pernah turun.Sebab, Blok Cepu sendiri pengelolaannya sudah diserahkan ke perusahaan asing, yakni ExxonMobile. Pemerintah sendiri, dalam hal ini Pertamina, hanya kebagian 45% keuntungan dari penambangan minyak di Blok Cepu itu.
BBM naik terus-menerus mungkin tidak terlalu menjadi masalah jika diikuti oleh daya beli masyarakat yang juga terus-menerus meningkat. Masalahnya, di tengah kenaikan harga BBM berkali-kali, daya beli masyarakat justru semakin menurun. Sudah banyak fakta, banyak masyarakat yang sekadar untuk membeli minyak tanah pun sudah tak mampu lagi. Jumlah orang miskin makin bertambah. Kasus gizi buruk dan kelaparan makin meningkat. Kenaikan harga BBM, yang katanya tidak memberatkan rakyat,ternyata 'berhasil' menambah jumlah orang miskin. Dengan kenaikan harga BBM bulan Maret 2005 saja, jumlah orang miskin telah bertambah sekitar 15% menjadi 65 juta orang. Angka pengangguran pun makin melambung; hingga saat ini mencapai lebih dari 40 juta orang.
Itu baru dalam bidang ekonomi. Belum lagi jika kita
membincangkan masalah keterpurukan Indonesia di bidang pendidikan, hukum, pelayanan sosial, kesehatan, moral, tingkat keamanan, dll. Karena itu, meski setiap tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan, berbicara tentang kebangkitan tampaknya masih menjadi sesuatu yang 'mewah' bagi kita. "Indonesia Bangkit" tampaknya masih sebatas angan-angan dan mimpi. Sebab, jangankan berbicara tentang kebangkitan, sebagaimana bangsa-bangsa Barat saat ini yang mengalami berbagai kemajuan dan kemakmuran, untuk sekadar hidup layak saja kebanyakan masyarakat kita masih banyak yang kesulitan.
Jika memang Indonesia saat ini sudah dianggap final dan ideal: mengapa kehidupan rakyat Indonesia masih terpuruk; mengapa konflik (antaragama,
antarsuku, antar para pendukung calon kepala daerah dalam Pilkada, antara buruh dan majikan, dll) di tengah-tengah masyarakat masih sering terjadi; mengapa bumi Indonesia yang kaya-raya rakyatnya bergelimang dalam kemiskinan; mengapa masih banyak rakyat yang sulit mengecap pendidikan hatta sekadar pendidikan dasar; mengapa korupsi masih merajalela; mengapa kerusakan moral makin tak terbendung;
mengapa berbagai kasus perzinaan, pelacuran, dan pemerkosaan makin menjamur; mengapa tingkat kejahatan makin meningkat....?
Jika kita merenungkan semua itu secara mendalam, jelas akar permasalahannya adalah karena asas kehidupan yang diterapkan saat ini adalah sekularisme-sebuah keyakinan dasar yang menyingkirkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Dalam hal ini, Pancasila sendiri hanya sekadar falsafah hidup, yang kini cenderung menjadi simbol semata. Faktanya, apa yang disebut dengan "Ekonomi Pancasila" atau "Demokrasi Pancasila", misalnya, yang diharapkan bisa mengatur kehidupan ekonomi dan politik masyarakat, sesungguhnya tidak pernah ada, baik secara teori apalagi praktik. Kenyataannya, sistem aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat adalah aturan-aturan yang bersumber dari sistem Kapitalisme-sekular yang bercirikan liberalisme, individualisme, dan pragmatisme, serta jauh dari nilai-nilai Islam dan aturan-aturan Allah SWT.

• Dilema HMI - sebagai salah satu organisasi pergerakan mahasiswa- : Berubah atau Mati !!!
Kiprah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di pentas pergerakan mahasiswa pasca-reformasi nyaris tak terdengar lagi. Salah satu penyebabnya bersumber dari konflik internal yang memunculkan dualisme kepemimpinan di PB HMI selama dua periode kepengurusan --belum lagi berbicara soal HMI MPO.
Dampaknya sangat fatal: program kerja stagnan, konsolidasi organisasi macet, pikiran-pikiran cerdas kader mampet, dan kekuatan HMI sebagai pressure group semakin menghilang. HMI mengalami puncak disorientasi kronis. Bila tidak diobati akan menyebabkan kematian.
Kiranya sebuah momentum baik bila para kader HMI melakukan refleksi, kontemplasi, dan proyeksi untuk memperbaiki dirinya. Akar masalah meredupnya eksistensi HMI saat ini karena tidak mampu membangun paradigma baru di tengah dunia yang berubah. Kontekstualisasi HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam, kader, dan lembaga perjuangan dalam dinamika sosial politik maupun di dunia kampus, telah mengalami disorientasi nilai dan tidak sesuai dengan mission sacre HMI. Akibatnya HMI mengalami kejumudan berpikir dan kegamangan bersikap. Dengan kata lain, HMI dirundung krisis identitas. Kondisi ini memengaruhi manajemen organisasi yang unmanagable.
Di samping itu, faktor eksternal seperti budaya instan, hedonis, dan materialisme turut menyumbang timbulnya disorientasi perjuangan kader. Tangung jawab untuk membangun paradigma baru HMI itu tentu berada di pundak para pimpinan HMI, terutama di level Pusat. Namun kewajiban itu telah diabaikan. Akibatnya, para pimpinan HMI di tingkat provinsi (Badko), kabupaten/kota (cabang), maupun di kampus tingkat fakultas (komisariat) --sebagai ujung tombak perjuangan HMI-- tidak memiliki Garis Perjuangan HMI yang menjadi guidance gerakan.

• Titik Temu Antara Kondisi Indonesia Saat Ini dengan Perjuangan HMI
Melihat kondisi negara saat ini yang tengah berada dalam era transisi, maka hati nurani kita tersentuh untuk berbuat sesuatu minimal dengan merasa gelisah yang kelak akan menjadi spirit untuk berbuat dan mencari solusi. Utamanya kita sebagai mahasiswa yang sekarang ini didengung-dengungkan sebagai agent of change, controll of social hendaknya mulai menyingsingka lengan baju untuk berkiprah di kancah perjuangan masing-masing. Mengingat bahwa kita ingin bangkit dari segala keterpurukan yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini, namun kembali kita bertanya, ” Dari mana kit a mulai ? ”
Pada dasarnya kebangkitan bangsa-bangsa di dunia dimulai dari kebangkitan taraf berpikir. Kebangkitan atau ketinggian taraf berpikir manusia tentu ditentukan oleh pijakan berpikirnya, yakni akidahnya. Akidah itu sendiri dimaknai sebagai pemikiran yang menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan ini; juga tentang hubungan ketiganya dengan keadaan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Pemikiran tentang semua itu akan mengantarkan pada suatu pertanyaan: Darimana manusia berasal? Untuk apa manusia hidup di dunia ini? Lalu kemana
manusia menuju setelah meninggalkan kehidupan dunia ini? Jawaban yang benar atas ketiga pertanyaan di atas inilah yang akan menjadi tonggak kebangkitan hakiki manusia. Dengan kata lain, kebangkitan yang hakiki hanya mungkin diraih ketika manusia menyadari bahwa mereka berasal-atau diciptakan oleh-Allah; bahwa mereka lahir ke dunia untuk beribadah kepada-Nya dengan cara mengikatkan diri pada semua aturan-Nya; dan bahwa setelah meninggalkan dunia ini mereka akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya ketika di dunia. Itulah akidah atau keyakinan mendasar yang diajarkan oleh Islam kepada umatnya. Sebagai konsekuensi dari akidah Islam semacam ini, Islam juga telah mengajari manusia untuk-dengan kesadaran penuh-melaksanakan secara murni dan konsekuen seluruh syariat Islam dalam segala aspek kehidupan. Hanya dengan cara itulah umat Islam akan dapat meraih kebangkitan yang hakiki dan gilang-gemilang, sebagaimana pernah dibuktikan selama berabad-abad pada masa lalu. Hanya dengan itu pula umat Islam dapat meraih kemaslahatan dan rahmat dari Allah.
Awal kebangkitan itu sejalan dengan tujuan HMI, sehingga yang harus dilakukan sekarang adalah mempertegas perjuangan HMI. Meskipun kenyataan yang kita lihat sekarang bahwa HMI mulai mengalami kemunduran bahkan berada dalam titik kritis ”hidup atau mati”, namun belum ada kata terlambat bagi kader HMI untuk mulai melangkahkan kaki meskipun selangkah dan memaknainya dengan memberikan sumbangsih untuk pencerahan Indonesia.
Harus kita yakini bahwa nilai intelektualitas HMI tidaklah mati. Ia masih melekat dalam diri kader HMI. Hanya saja potensi kader tidak terkelola dengan baik karena manajemen kepemimpinan organisasi yang amburadul. Akibatnya, output training yang seharusnya mencetak kader HMI sebagai seorang Muslim Intelektual Profesional (MIP) belum terukur efektif. Mutiara intelektualitas HMI terendam lumpur hitam.
Oleh karena itu, kebijakan sistem pengkaderan mesti ideologis, visioner, termonitor, dan kontekstual dengan tuntutan arus modernitas. Kultur intelektualitas HMI mesti direkayasa agar tumbuh dan teraktualisasi secara massif.
Terciptanya kesadaran kolektif dari pimpinan HMI untuk membangun paradigma baru, meskipun masih verbalistik, ibarat angin yang membawa perubahan bagi kehidupan baru HMI. Membangun common sense antarkader akan menjadi sumber energi dalam melakukan perubahan internal. Bagi HMI, berubah adalah suatu kewajiban. Sebab bila tidak, HMI akan mati dan tertelan zaman.
Untuk kembali mengepakkan sayapnya, HMI hendaknya mempertegas perjuangannya dengan melakukan :
Pertama, program fakultatif/spesialistik yang diorientasikan pada peningkatan kualitas akademis mahasiswa. Misalnya membentuk kelompok kajian keilmuan berdasarkan fakultasnya masing-masing.
Kedua, program holistik yang diorientasikan pada peningkatan kualitas intelektual dan leadership. Misalnya membentuk study club atau program sekolah aktivis. Ketiga, program rekreatif yang diorientasikan pada penyaluran hobi. Misalnya di bidang olah raga, sastra dan seni musik, pers, pencinta alam, dan lainnya.
Dengan terealisasinya langkah di atas, setidaknya HMI dapat melangkah dan meninggalkan titik kritis yang dikhawatirkan oleh banyak pihak utamanya kader HMI itu sendiri sekaligus dapat memberikan kontribusinya di area kampus sebagai tempat berkiprahnya HMI terhadap kondisi Indonesia saat ini.

Penutup
Era transisi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, menjadi sebuah tantangan bagi Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ) sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan yang tak diragukan kemampuannya mencetak kader-kader intelektual. Tantangan itu makin dirasakan setelah harus menerima kenyataan bahwa HMI saat ini berada pada titik kritis antara ”hidup atau mati ”.
Dari pimpinan hingga kader HMI hendaknya gelisah akan kondisi Indonsia saat ini ditambah lagi kepakan sayap dari orang-orang HMI yang tidak lagi terlihat. Inilah saatnya bagi HMI untuk menjawab kegelisahan yang dirasakan dengan mulai mengepakkan sayapnya, dan mempertegas perjuangannya. Kampus merupakan arena tempat berkiprahnya HMI sehingga untuk memulai perjuangannya harus dimulai dari kampus pula.
Kita harus meyakini bahwa posisi HMI adalah sebagai organisasi yang diharapkan melahirkan output Muslim Intelektual Profesional ( MIP ), dan ini sejalan dengan langkah awal kebangkitan bangsa Indonesia melalui kebangkitan taraf berikir.

Dengan demikian, selangkah perjuangan HMI dari titik kritis itu, begitu bermakna bagi kebangkitan bangsa Indonesia di era transisi sekarang ini khususnya dalam peningkatan taraf berpikir.